Dedikasi Sukarno terhadap seni dan obsesinya dalam menciptakan cita-cita nasionalis masih hidup di hotel-hotel mewah yang dibangunnya pada tahun 1960-an
Mark Woodward
Awalnya dikenal sebagai Istana Ambarrukmo atau Kedhaton Ambarrukmo, Hotel Ambarrukmo di Yogyakarta adalah satu dari empat hotel berstandar internasional yang diperintahkan Sukarno untuk dibangun pada tahun 1960-an. Hotel lainnya adalah Hotel Indonesia di Jakarta, The Bali Beach Inter-Continental di Sanur, dan Samudra Beach Hotel di Pelabuhan Ratu. Bagi Sukarno, membangun hotel-hotel tersebut lebih dari sekadar serangkaian proyek konstruksi. Itu adalah strategi nasionalis yang difokuskan untuk menarik perhatian internasional bagi negara baru tersebut. Keempat hotel tersebut memiliki contoh-contoh penting seni modern Indonesia. Sukarno menggunakan seni, arsitektur, dan monumen sebagai alat revolusioner, ideologis, dan diplomatik.
Sukarno sangat cocok untuk tugas membangun bangsa secara simbolis, dikenal sebagai seorang nasionalis, revolusioner, dan ideolog. Ia juga seorang pencinta seni, kolektor, dan pelukis amatir yang ulung. Sebagai presiden, ia juga merupakan pelindung seni yang paling penting dan pencetus tren yang banyak berperan dalam membentuk perkembangan gaya modernis Indonesia yang khas. Sukarno begitu menyukai seni sehingga setelah ia jatuh dari kekuasaan pada tahun 1966, ia dikatakan sangat merindukan koleksinya dan pergaulannya dengan para seniman. Ia melanjutkan tradisi Asia Tenggara yang telah berlangsung selama berabad-abad, di mana karya seni dan monumen tidak hanya merupakan representasi tatanan kosmologis, tetapi juga berfungsi untuk menjadikannya sebagai realitas sosial-politik. Sukarno membangun tradisi ini untuk membangun apa yang disebut Robert Bellah sebagai ‘agama sipil’ – sebuah konstelasi ritual dan simbol kuasi-sakral yang mengikat sebuah bangsa. Agama sipil Indonesia Sukarno mencakup potret-potret idealis yang diromantisasi tentang Indonesia dulu, sekarang, dan masyarakat modern yang sedang berkembang. Tema utamanya adalah Indonesia sebagai masyarakat modern, revolusioner, pascakolonial yang berakar kuat pada budaya tradisional negara ini.
Hotel Royal Ambarrukmo memadukan simbolisme politik Indonesia dan Jawa. Hotel ini terletak di lahan Kedhaton Ambarrukmo, kediaman kerajaan yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwana (HB) VI Yogyakarta pada tahun 1857. Hotel ini merupakan miniatur keraton (istana) yang meliputi pendopo, paviliun terbuka yang digunakan sebagai balai pertemuan (Gadri), ruang makan formal (Ndalem Ageng), tempat tinggal, Mushala atau ruang sembahyang, dan Bale Kambang, ruang meditasi. Awalnya, hotel ini digunakan sebagai ruang netral secara politik untuk pertemuan dengan pejabat Belanda dan pejabat asing serta untuk pertemuan antara cabang Yogyakarta dan Surakarta dari keluarga kerajaan Mataram. Yogyakarta dan Solo sama-sama mengklaim sebagai penerus sah kerajaan Kartasura sebelumnya (1680-1755) dan hampir tidak pernah berbincang sejak pertengahan abad kedelapan belas. Pertemuan di salah satu keraton menimbulkan masalah protokol yang signifikan. Terletak di tepi Yogyakarta di jalan menuju Surakarta, Kedhaton Ambarrukmo merupakan ruang yang (hampir) netral. Setelah turun takhta pada tanggal 29 Januari 1921, HB VII tinggal di sana hingga wafatnya pada tanggal 30 Desember tahun itu. Istana itu kemudian digunakan untuk berbagai keperluan administratif dan lambat laun mulai rusak.
Sebuah proyek nasionalis
Proyek hotel Ambarrukmo merupakan usaha patungan antara Sukarno dan Sultan HB IX. HB IX memainkan peran utama dalam revolusi Indonesia. Ia memiliki komitmen yang sama terhadap nasionalisme Indonesia seperti Sukarno dan juga komitmen yang sama untuk melestarikan monarki Yogyakarta. Secara arsitektur, bangunan utama bergaya modernis pertengahan abad ke-20. Yogyakarta pasca-kemerdekaan masih didominasi oleh pedesaan dan arsitektur perkotaan bergaya tradisional Jawa atau kolonial Belanda. Istana Ambarrukmo merupakan salah satu bangunan Indonesia modern pertama yang khas. Bangunan bergaya tradisional Jawa dari Kedhaton Ambarrukmo dipugar dan dipadukan ke dalam konstruksi hotel modern.
Sukarno secara pribadi mengawasi instalasi seni tersebut. Instalasi tersebut meliputi dua mosaik, Kehidupan Masyarakat Jawa Tengah dan Kehidupan Masyarakat Yogyakarta serta panel ukiran relief Untung Rugi di Lereng Merapi . Semuanya merupakan kolase yang menggabungkan motif-motif Indonesia modern dan Jawa tradisional. Semuanya merupakan penggambaran romantis tentang kehidupan di Yogyakarta dan Jawa secara umum pada awal tahun 1960-an, yang diceritakan dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Secara keseluruhan, semuanya menekankan pentingnya Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa dan nasionalisme Indonesia. Semuanya menggambarkan realitas imajiner di mana budaya Jawa yang harmonis terkandung dalam Indonesia revolusioner modern. Hal ini membangkitkan perbedaan metafisik Islam Jawa antara lahir (eksternal) dan batin (internal) serta wadah (wadah) dan isi (konten). Pesan yang tidak terucapkan adalah bahwa budaya Jawa terkandung dalam dan/atau merupakan esensi spiritual modernitas Indonesia. Seseorang tidak akan tahu hanya dengan melihatnya bahwa Indonesia sedang dilanda konflik politik dan agama pada pertengahan tahun 1960-an.
Kehidupan Masyarakat Jawa Tengah adalah yang paling sederhana dari ketiga kolase tersebut. Kesederhanaannya menutupi, dan memang menyampaikan, kompleksitas ideologis dan simbolis. Jawa Tengah adalah istilah yang ambigu. Istilah ini merujuk pada wilayah budaya yang mencakup Yogyakarta dan provinsi yang tidak. Wilayah budaya tersebut tidak didefinisikan secara tepat secara geografis. Wilayah ini adalah wilayah di mana budaya Jawa telah dibentuk oleh tradisi istana kerajaan Mataram dan penerusnya, Yogyakarta dan Surakarta. Provinsi ini dibentuk pada tahun 1946. Wilayah ini mencakup wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan Surakarta dan wilayah di sepanjang pantai utara yang memiliki berbagai budaya Jawa yang berbeda yang lebih erat kaitannya dengan skripturalisme Muslim. Surakarta diserap ke Jawa Tengah karena penguasanya saat itu, Susuhunan Pakubuwana XII, memilih untuk tidak mendukung revolusi Indonesia.
Mosaik tersebut merupakan potret romantis pedesaan Jawa. Selain gambar kecil monumen Buddha abad ke-9 Borobudur, tidak ada tempat yang dapat diidentifikasi. Gambar-gambar tersebut adalah orang-orang muda yang sehat dan bahagia, kebanyakan dari mereka adalah perempuan, yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari kehidupan desa, bertani, menyiapkan makanan, gerobak sapi, dan pasar desa. Adegan perempuan muda yang mandi di sungai mungkin mencerminkan minat Sukarno pada citra erotis. Kesederhanaan secara keseluruhan dan kurangnya simbol konflik dan modernitas membangkitkan ideologi Marhenisnya yang menempatkan esensi Indonesia dalam masyarakat desa yang mandiri. Hal ini juga beresonansi dengan nostalgia yang dimiliki banyak orang Jawa terhadap (yang diduga) kesederhanaan dan ketenangan kehidupan desa.
Kehidupan Masyarakat Yogyakarta dan Untung Rugi di Lereng Merapi masing-masing merupakan potret kehidupan sehari-hari, budaya Jawa, dan revolusi di pedesaan dan perkotaan Yogyakarta yang sarat dengan simbol. Perjuangan revolusioner merupakan tema yang terus ada, namun, tidak ada simbol politik yang jelas atau apa pun yang menunjukkan partai politik yang berebut kekuasaan pada tahun 1960-an. Sebaliknya, ada representasi ideal dari gagasan revolusi dengan gambaran laki-laki dan perempuan kuat yang terlibat dalam perjuangan berani melawan musuh yang tak terlihat.
Kehidupan Masyarakat Yogyakarta memadukan citra kerajaan, Islam, dan Jawa dengan kehidupan kota dan nasionalisme revolusioner. Tiga citra sangat mencolok. Citra pertama menampilkan lima saudara Pandawa yang merupakan pahlawan wayang lakon (pertunjukan bayangan) berdasarkan versi Islam dari epos Mahabharata dalam bahasa Sansekerta. Citra terbesar adalah Bima yang dikenal karena kekuatan, keberanian, dan pencariannya akan pengetahuan mistis. Sukarno sangat menyukai wayang seperti halnya ia menyukai seni. Ia menggunakan metafora wayang untuk menggambarkan revolusi Indonesia sebagai perjuangan kosmik antara kebaikan dan kejahatan. Ia sangat mengidentifikasi dirinya dengan Bima. Citra kedua menghubungkan revolusi dengan Diponegoro, pangeran Yogyakarta yang memimpin jihad yang dikenal dalam sejarah sebagai Perang Jawa melawan penjajah Belanda dari tahun 1825 hingga 1830. Citra ketiga adalah representasi peradaban Islam Yogyakarta. Meliputi gambar Masjidil Haram dan ritual Garebeg yang merayakan tiga hari besar umat Islam, yaitu Idul Fitri (Lebaran) di akhir bulan Ramadan, Idul Adha yang merayakan ibadah haji (ziarah ke Mekkah), dan Maulid Nabi yang memperingati kelahiran Nabi Muhammad.
Leave a Reply