Blora menjadi tuan rumah festival untuk peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya

Blora

Jakarta (ANTARA) – Sebuah festival untuk memperingati seratus tahun kelahiran sastrawan kenamaan Indonesia Pramoedya Ananta Toer digelar pada 6-8 Februari di kampung halamannya, Blora, Jawa Tengah.

Saat meresmikan festival tersebut, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan setuju dengan pandangan Pramoedya bahwa “secerdas apa pun seseorang, selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.”

“Ini mengajarkan kita semua, terutama generasi muda, bahwa menulis adalah bekerja untuk ‘keabadian’ kita sendiri, dan mereka yang tidak melakukannya akan lenyap dari peradaban,” kata Fadli dalam sambutan tertulisnya, Minggu.

Kegiatan yang diselenggarakan untuk memperingati seratus tahun tersebut, yang dimulai pada 6 Februari, meliputi dialog budaya, pemutaran film adaptasi Bumi Manusia, dan pentas seni di pendopo rumah dinas Bupati Blora.

Dalam kunjungannya ke Blora, Fadli juga meresmikan patung dan pameran sketsa yang menampilkan perjalanan hidup Pramoedya di Blora Art Space.

Ia memuji Pramoedya atas kontribusinya bagi perkembangan sastra di Indonesia dan, seperti yang dikatakannya, bahkan dunia.

Zon berharap warisan novelis itu akan terus menginspirasi orang dan berkontribusi pada kemajuan nasional dan kemanusiaan.

Ia menyatakan bahwa Pramoedya telah membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat melalui kisah-kisahnya yang mendalam dan bermakna tentang perjuangan, kemanusiaan, dan identitas nasional dalam karya sastranya.

“Karya Pram bukan sekadar buku, melainkan refleksi dari lika-liku perjalanan bangsa Indonesia, yang saya yakini akan menginspirasi kita semua,” katanya, merujuk pada Pramoedya dengan nama panggilannya yang populer.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925. Karya-karyanya yang sarat dengan sejarah nasional, menjangkau era pra-kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 30 April 2006, dalam usia 81 tahun.

Ia telah menghasilkan karya-karya luar biasa yang memperkaya sastra Indonesia, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang merupakan bagian dari Tetralogi Buru (Tetralogi Buru) yang terkenal, yang ditulisnya saat ia dipenjara di Pulau Buru dari tahun 1965 hingga 1976 oleh rezim Orde Baru.

Pramoedya menerima berbagai penghargaan selama hidupnya, termasuk Penghargaan Ramon Magsaysay yang bergengsi, dan sering dianggap sebagai kandidat terbaik Indonesia untuk Hadiah Nobel Sastra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *